HERALDSULSEL — Di tengah banjir game bertema zombie yang repetitif, hadir satu kejutan besar dari studio kecil asal Selandia Baru, PIKPOK.
Mereka merilis Into the Dead: Our Darkest Days dalam format early access, dan hanya dalam hitungan hari, game ini langsung mencuri perhatian para penggemar game survival.
Tanpa bujet bombastis, tanpa promosi besar-besaran, game ini berhasil menyodorkan atmosfer yang lebih mencekam dan gameplay yang lebih intens daripada mayoritas game zombie keluaran studio raksasa.
Pertama, game ini tidak menawarkan sensasi “membantai zombie” seperti yang terlalu sering kita temui. Sebaliknya, ia memaksa pemain untuk berpikir, mengelola sumber daya, dan menahan ego ketika loot menggiurkan hadir di balik risiko kehilangan karakter secara permanen.
Tidak ada sistem revive. Ketika satu karakter mati, ia hilang selamanya—beserta seluruh barang bawaannya.
Latar waktu dan tempat game ini pun bukan sembarang tempelan naratif. Texas tahun 1980, dengan krisis ekonomi dan gelombang panas ekstrem, menjadi cerminan dunia yang ditinggalkan pemerintah.
Sebuah alegori tentang negara gagal yang membiarkan rakyatnya bertahan hidup sendiri. Di kota Walton, hukum telah mati bersama para petugasnya, dan kekacauan adalah hukum baru.
Gameplay-nya sendiri menggabungkan elemen side-scrolling, manajemen sumber daya, hingga taktik eksplorasi yang penuh risiko. Pemain dihadapkan pada tiga indikator utama untuk setiap karakter—stamina, moral, dan kelaparan.
Semua harus dijaga setiap cycle, siang dan malam. Zombie dalam game ini bukan sekadar penghalang visual. Mereka bisa mendobrak pintu, mengintai dari latar, dan mengepung tanpa ampun saat strategi kita meleset. Mekanisme ini membuat rasa cemas yang dihasilkan benar-benar nyata.
Rocky Gerung pernah mengatakan bahwa bangsa yang kuat bukan yang sibuk menciptakan narasi fiktif, tetapi yang mampu menghadapi kenyataan pahit dan tetap bertahan.
Game ini mencerminkan itu, bagaimana realisme kelam bisa menjadi pengalaman bermain yang sangat otentik.
Lebih dari sekadar hiburan, Into the Dead: Our Darkest Days memperlihatkan bahwa video game bisa menjadi ruang kritik sosial.
Game ini menggambarkan bagaimana pemerintah abai, bagaimana kekacauan menjadi ladang oportunisme, dan bagaimana individu harus bertahan dalam tatanan yang telah runtuh.
Dan semua itu dibungkus dalam seni visual 80-an yang luar biasa rinci dan atmosferik.
Yang paling ironis, kualitas seperti ini justru datang dari studio kecil, bukan dari para raksasa industri game yang saban tahun menjual sensasi zombie dengan formula basi.
Sementara game-game AAA sibuk mempercantik kulit luar, Into the Dead: Our Darkest Days fokus pada isi gameplay yang jujur dan atmosfer yang mendalam. (*)