HERALDSULSEL — Setiap musim Lebaran, perfilman Indonesia hampir selalu menyuguhkan satu judul horor yang bersandar pada kisah viral di internet.
Tahun ini, giliran Pabrik Gula, garapan Awi Suryadi dan Lele Laila, mencoba merebut perhatian penonton dengan formula yang tampaknya sudah dipatenkan sejak kesuksesan KKN di Desa Penari.
Namun, apakah film ini menawarkan sesuatu yang benar-benar baru, atau hanya sekadar variasi rasa dari menu lama?
Film ini memadukan horor dengan elemen komedi, bahkan cukup dominan di beberapa bagian. Penempatan karakter-karakter kocak seperti Franky dan Dwi, hingga kehadiran komika-komika yang juga bermain sebagai satpam, terasa efektif mencairkan suasana.
Gelak tawa penonton memang terdengar di banyak adegan, menandakan bahwa humor dalam film ini berhasil. Sayangnya, keberhasilan tersebut justru membuat horor di film ini terasa seperti selingan, bukan inti dari cerita.
Secara visual, Pabrik Gula jelas lebih unggul dibanding karya-karya horor lokal sejenis. Beberapa shot malam yang biasanya identik dengan pencahayaan yang gelap dan buram, kali ini dieksekusi dengan cukup jernih dan artistik.
Adegan Wati yang tiba-tiba melayang, misalnya, menjadi salah satu momen paling mengesankan dari sisi teknis dan blocking.
Keputusan untuk menyajikan adegan one-shot juga memperkuat atmosfer dan intensitas cerita, meski tidak selalu diimbangi dengan logika naratif yang kuat.
Namun di balik teknis yang semakin matang, film ini tetap terpaku pada struktur cerita yang nyaris identik dengan pendahulunya: sekelompok orang datang ke tempat angker, mengalami kejadian supranatural, lalu satu demi satu dihantui hingga akhir film.
Motif dan misteri yang harusnya jadi tulang punggung cerita, justru terasa terburu-buru dan minim planting. Banyak informasi penting dimunculkan tiba-tiba di babak akhir, tanpa cukup fondasi sejak awal.
Kesannya, penonton hanya diminta duduk manis menunggu adegan-adegan seram dan ledakan jump scare tanpa perlu terlalu memikirkan benang merah cerita.
Hal lain yang patut disayangkan adalah pemanfaatan setting. Judul “Pabrik Gula” menjanjikan suasana dan aktivitas industrial yang bisa memperkaya atmosfer horor, namun yang disajikan hanya kilasan mesin dan bangunan kosong.
Tidak ada eksplorasi lebih lanjut terhadap dunia kerja musiman atau dinamika buruh di pabrik. Padahal, potensi kritik sosial atau konteks ekonomi bisa menjadi lapisan yang memperkuat cerita, alih-alih hanya menjadi latar yang sekadar eksotik.
Meski begitu, film ini tetap menjadi kemajuan dari KKN di Desa Penari dalam hal penyampaian dan klimaks.
Setidaknya ada usaha untuk menggiring penonton ke twist yang sedikit lebih matang, meski masih dalam batas aman dan bisa ditebak bagi penonton horor kawakan.
Pabrik Gula bisa jadi tontonan menghibur untuk libur Lebaran, terutama bagi mereka yang mencari ketegangan ringan dengan tawa selipan.
Tapi bagi yang berharap pada horor lokal yang menggugah sekaligus membekas, film ini barangkali hanya seperti secangkir teh manis yang disajikan hangat — cukup enak, tapi tidak akan dikenang lama setelah diminum.
Skor: 6/10. (*)