HERALDSULSEL, MAKASSAR — Film Komang, yang dirilis saat momentum Lebaran 2025, hadir membawa semangat romansa khas milenial—manis, ringan, dan sarat pesan toleransi.
Terinspirasi dari lagu viral berjudul sama karya Raim Laode, film ini mengangkat kisah cintanya dengan sosok yang kemudian menjadi istrinya.
Di tangan sutradara Naya Anindita, dan ditulis oleh Evelin Afnila, Komang menjelma sebagai tontonan yang “gemesin” namun tak lepas dari kelemahan mendasar: terlalu panjang, dengan konflik yang setengah matang.
Film ini mengikuti perjalanan cinta Raim (diperankan oleh Kevin Ardilova) dan Komang (Aurora Ribero) yang datang dari latar belakang berbeda, termasuk keyakinan.
Kisah dibungkus dengan warna visual yang hangat dan iringan musik yang menyatu padu dengan narasi, menjadikan Komang terasa intim, bahkan personal.
Penonton seperti diajak masuk ke dalam buku harian Raim, lengkap dengan romantisme yang mengundang senyum kecil.
Namun, daya pikat visual dan musik tidak sepenuhnya mampu menutup lubang besar dalam dramaturgi film ini.
Babak kedua terasa melambat secara signifikan. Konflik utama muncul terlalu larut, dan ketika akhirnya datang, penyelesaiannya justru terburu-buru dan minim kedalaman.
Adegan Raim memutuskan hubungan hanya karena melihat satu foto, tanpa penjelasan emosional yang kuat, menciptakan kekosongan logika naratif yang mengganggu.
Dialog pun kerap menggantung. Beberapa sub-plot, seperti soal ayah Raim yang sakit, terasa hanya sebagai tempelan dan tidak diberi ruang untuk berkembang.
Potensi pengembangan karakter Raim sebagai komika juga tak dimaksimalkan.
Penonton yang mengikuti perjalanan karier asli Raim Laode akan merasa kehilangan penggambaran penting tentang siapa dirinya sebelum menulis lagu Komang.
Ketiadaan keterangan waktu dan timeline yang kabur juga memperparah kebingungan. Perpindahan kota dari Jakarta, Bandung, hingga Amsterdam hanya disebutkan sekilas tanpa konteks yang cukup.
Penonton tidak diajak untuk memahami seberapa panjang dan rumit perjuangan Raim dalam mencapai momen klimaks: perilisan lagu Komang.
Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa Komang tetap menyisakan kesan manis. Chemistry Aurora Ribero dan Kevin Ardilova kuat, dengan dialog ringan yang menyentuh.
Adegan-adegan simbolik, seperti arah kiblat yang berlawanan saat salat, memberikan nuansa toleransi yang tidak menggurui namun bermakna.
Unsur komedi pun sesekali muncul dalam porsi tepat, walau terasa minim mengingat latar belakang karakter utamanya.
Sayangnya, Komang seperti ingin memeluk terlalu banyak tanpa cukup ruang untuk bernapas. Alur cerita yang seharusnya padat malah melebar, sementara momen emosional yang seharusnya mendalam justru dangkal. Film ini manis, tapi tidak menggigit. Hangat, tapi tidak membekas.
Sebagai film adaptasi lagu, Komang berhasil memperpanjang napas romantisme dari lirik ke layar. Namun sebagai karya sinematik yang utuh, film ini menyisakan pekerjaan rumah tentang pentingnya struktur cerita yang solid.
Skor akhir: 7/10. (*)