Cahaya Pendidikan, Bayang-Bayang Kekerasan

- Opini
  • Bagikan
Jumansi

Oleh: Jumansi, M.Pd (Pemerhati Pendidikan)
HERALDSULSEL, MAKASSAR
– Pendidikan adalah cahaya. Ia seharusnya menerangi jalan manusia menuju kehidupan yang lebih baik—membuka ruang berpikir, menanamkan nilai, dan membentuk karakter. Dalam ruang-ruang kelas, laboratorium, dan perpustakaan, kita membayangkan lahirnya manusia-manusia bijak yang memuliakan ilmu dan menjunjung martabat.

Namun, cahaya itu kini memancarkan bayang-bayang. Bayangan gelap berupa kekerasan seksual yang justru terjadi di tempat yang mestinya paling aman: lembaga pendidikan.

Kasus demi kasus bermunculan. Bukan hanya di sekolah-sekolah biasa, tapi juga di universitas-universitas ternama. Ironisnya, pelaku bukan orang biasa—mereka yang bergelar doktor, profesor, bahkan tokoh panutan. Ilmu dan status akademik yang seharusnya jadi alat pencerahan, justru digunakan untuk membungkam dan mengendalikan.

Lebih tragis lagi, kekerasan itu sering dibungkus dalam relasi yang terlihat profesional: bimbingan skripsi, diskusi akademik, proyek riset. Korban didekati dengan janji, diikat oleh relasi kuasa, lalu ditekan secara psikologis. Tak jarang, ancaman nilai akademik atau reputasi digunakan sebagai senjata. Inilah wajah kelam dari dunia yang mestinya tercerahkan.

Relasi Kuasa yang Menyesatkan

Dalam dunia pendidikan, relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, guru dan murid, adalah keniscayaan. Namun, ketika kuasa itu tak disertai dengan etika dan tanggung jawab moral, pendidikan kehilangan rohnya. Ia tak lagi membebaskan, tapi justru menindas dalam diam.

Kita harus jujur: sistem pendidikan kita masih terlalu permisif terhadap penyalahgunaan wewenang. Mekanisme pengawasan lemah, keberpihakan pada korban minim, dan budaya “menutup-nutupi” masih sangat kuat. Akibatnya, korban sering memilih diam, dan pelaku terus melenggang tanpa sanksi berarti.

Saatnya Menjadi Pendidik Sejati

Ki Hajar Dewantara pernah berkata, “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Pendidik sejati bukan hanya pengajar, tapi juga penuntun moral. Ia memberi teladan, menumbuhkan semangat, dan mendukung dari belakang. Pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang memanusiakan.

Cahaya pendidikan tidak boleh berhenti pada intelektualitas. Ia harus menyinari nurani. Karena bangsa ini tidak hanya butuh orang pintar, tapi juga orang benar—mereka yang menggunakan ilmunya untuk melayani, bukan menguasai.

Membangun Ruang Aman dan Beradab

Jika kita ingin melahirkan generasi cerdas dan bermoral, maka sekolah dan kampus harus menjadi benteng pertama melawan segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Ini bukan hanya soal sanksi atau regulasi, tapi juga tentang membangun budaya yang berpihak pada korban, yang menghormati integritas, dan yang tak memberi ruang bagi predator berkedok pendidik.

Karena pendidikan sejatinya bukan hanya soal pencapaian akademik, tetapi soal bagaimana kita mendidik manusia untuk menghargai sesamanya.

Mari kita pastikan cahaya pendidikan benar-benar menjadi terang bagi semua—tanpa menyisakan bayang-bayang luka. (*)

Stay connect With Us :
  • Bagikan