HERALDSULSEL, MAKASSAR – Penumpang Sriwijaya Air rute Makassar-Jakarta yang seharusnya mengudara sejak Jumat malam, 14 Februari 2025 dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar, terpaksa menelan kenyataan pahit: pesawat yang mereka tunggu delay hingga lima jam. Kesabaran yang semula digantung pada harapan keberangkatan, kini telah putus—dan amarah pun meledak.
Dari Harapan Menuju Kekecewaan
Mereka yang telah bersiap mengepak perjalanan kini terjebak dalam ketidakpastian. Beberapa menunggu di kursi ruang tunggu dengan wajah penuh kelelahan, sementara yang lain mulai menyuarakan protes. Taufan Yudhistira, Stakeholder Relation Manager Angkasa Pura I, membenarkan bahwa keterlambatan ini terjadi hingga 335 menit, membuat para penumpang frustrasi.
“Sriwijaya tujuan Jakarta yang seharusnya berangkat tadi malam di-cancel oleh pihak maskapai. Ada penumpang yang refund maupun dipindahkan ke penerbangan lain,” ujarnya.
Namun, bagi sebagian penumpang, solusi yang diberikan tak cukup. Mereka merasa dibiarkan terlantar, tanpa kepastian, tanpa fasilitas yang memadai.
Kemarahan yang Tak Terelakkan
Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, tampak seorang pria meluapkan kekesalannya.
“Sriwijaya tidak profesional! Saya pernah mengalami delay di Batam 4 jam, tetap ada kompensasi Rp 300 ribu. Tapi ini? Dari jam 10 malam kami tidak dipedulikan. Tidak ada hotel, tidak ada kompensasi! Ini bagaimana kalau ada anak kecil?” teriaknya, disambut riuh dukungan dari penumpang lain.
Wajah-wajah kelelahan berubah menjadi ekspresi protes. Ada yang menuntut kepastian, ada yang hanya ingin segera sampai di tujuan, dan ada pula yang memilih menyerah dan meminta refund tiket.
Menanti Penjelasan Maskapai
Hingga kini, pihak maskapai belum memberikan penjelasan detail mengenai penyebab keterlambatan tersebut. Namun, yang pasti, kejadian ini menambah daftar panjang insiden delay di dunia penerbangan Indonesia—di mana waktu penumpang sering kali menjadi korban dari ketidakpastian sistem transportasi udara.
Pagi ini, pesawat akhirnya diberangkatkan. Tapi apakah itu cukup? Bagi mereka yang telah melewati malam panjang dengan ketidakpastian, delay bukan hanya soal waktu—tapi soal bagaimana mereka diperlakukan. (*)