Duel Parang Dua Tetangga, Nyawa Nyaris Melayang

- News
  • Bagikan
Ilustrasi duel maut (Herald Sulsel)
Ilustrasi duel maut (Herald Sulsel)

HERALDSULSEL, BONE – Di sebuah sudut Kelurahan Polewali, di Kecamatan Tanete Riattang Barat, Kabupaten Bone, sebuah peristiwa tragis yang berawal dari cekcok sederhana, berubah menjadi darah dan nyawa. Kisahnya bermula saat dua tetangga, RA Bin BA dan Tere, tak sengaja bersinggungan dalam aktivitas sehari-hari yang paling biasa—membakar sampah.

Namun, percikan emosi yang meletus di tengah ketegangan itu membawa mereka pada duel yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dengan parang yang terhunus dan tangan kosong sebagai pembalasannya, keduanya terjebak dalam pertarungan yang menguji nyali dan keberanian.

RA Bin BA, dalam keadaan terbakar amarah, melemparkan ancaman kepada Tere. “Uwettta ammengko,” ujarnya dalam bahasa Bugis yang artinya, “saya parangiko nanti”, kata-kata yang mengandung niat tak termaafkan.

Tere, yang tak gentar sedikit pun, membalas dengan tantangan yang lebih tajam, juga dengan bahasa Bugis. “Wettana se uwitai (parangi coba saya lihat),” kata-katanya menggema, seakan memberi izin bagi maut untuk datang. Dan seketika itu juga, parang tajam di tangan RA Bin BA mulai bergerak, menebas tanpa ampun.

Tere tak mampu menghindar. Wajahnya, tubuhnya, diserang bertubi-tubi, parah, hingga akhirnya jatuh tersungkur. Luka-luka itu bukan hanya sekadar robekan biasa, melainkan bekas kemarahan yang telah meninggalkan jejak mendalam. Tere terjatuh, namun serangan belum berakhir. Parang itu kembali menebas, kali ini menuju paha dan leher, membuatnya tak bisa lagi melawan.

Perlahan, darah yang mengalir membawanya ke ambang kematian. Beruntung, Tere segera dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tenriwaru. Luka-luka itu, kata dokter, bukan luka sembarangan, melainkan luka berat yang memerlukan perawatan intensif. Dari sana, dia harus dibawa lebih jauh ke Makassar, tempat dia bisa mendapat perawatan lebih lanjut, melawan maut yang semakin mendekat.

Kini, RA Bin BA harus menjalani proses hukum. Tindakannya, yang tercatat dalam Pasal 351 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tentang penganiayaan dengan luka berat, mengarah pada sidang yang akan berlangsung. Tere, di sisi lain, hanya bisa berharap bahwa darah yang tumpah tak akan sia-sia, bahwa keadilan akan datang, meski mungkin lambat dan berliku.

Dalam kisah ini, bukan hanya luka fisik yang menjadi bekas, namun juga luka dalam pada hati yang terus bertanya, mengapa segala sesuatunya harus berakhir dengan darah yang tercurah di tengah-tengah hidup yang penuh dengan kemungkinan untuk damai. (*)

Stay connect With Us :
  • Bagikan