Coretax dan Kebijakan Pajak: Canggih di Janji, Kacau di Realitas

- Opini
  • Bagikan

Penulis: Fitrawansyah (Mahasiswa Magister Akuntansi STIEM Bongaya)

HERALDSULSEL – Sebagai seorang konsultan pajak, saya sering mendampingi wajib pajak yang kebingungan menghadapi kebijakan perpajakan yang berubah-ubah. Salah satu momen yang paling membingungkan terjadi pada 31 Desember 2024 lalu, ketika pemerintah memutuskan, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), hanya akan diterapkan pada barang mewah. Sementara itu, barang lainnya tetap dikenakan PPN 11%.

Keputusan yang mendadak ini membuat banyak wajib pajak, baik pelaku usaha kecil maupun besar, kebingungan. Mereka harus buru-buru menyesuaikan strategi bisnis dan sistem administrasi perpajakan mereka. Lebih membingungkan lagi adalah penerapan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain pada faktur pajak, yang banyak dianggap tidak jelas. Dalam situasi seperti ini, tugas saya sebagai konsultan menjadi semakin menantang, karena harus memberikan solusi cepat di tengah ketidakpastian.

Selain itu, sistem Coretax yang baru diluncurkan juga menjadi topik keluhan utama dari seluruh wajib pajak. Sistem yang katanya dirancang untuk mempermudah administrasi pajak ini justru sering bermasalah di awal penerapannya. Tidak sedikit wajib pajak mengeluh karena harus menghadapi error teknis saat melaporkan pajak mereka. Salah satu yang paling fatal adalah banyak wajib pajak yang tidak bisa melakukan penagihan dikarenakan tidak bisa menerbitkan faktur pajak atas penagihannya, yang tentunya ini akan berakibat pada kacaunya cashflow Perusahaan tersebut.

Saya sendiri melihat, sistem ini merupakan lompatan besar dari system perpajakan di Indonesia. Namum meskipun memiliki potensi besar, menurut saya masih belum siap diimplementasikan. Padahal, saya tahu pemerintah telah menghabiskan anggaran yang sangat besar untuk mengembangkan sistem ini. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: apakah anggaran besar tersebut benar-benar digunakan secara efisien?

Sebagai konsultan, saya menyaksikan langsung bagaimana dampak kebijakan ini meluas ke berbagai sektor. Banyak usaha kecil yang merasa tertekan, karena mereka tidak memiliki sumber daya untuk terus-menerus menyesuaikan sistem mereka dengan perubahan aturan. Di sisi lain, perusahaan besar juga mengalami kesulitan, terutama ketika kebijakan baru ini membuat mereka harus mengalokasikan lebih banyak waktu dan tenaga untuk memenuhi persyaratan administrasi yang mendadak.

Ketika tarif PPN akhirnya tidak jadi naik secara umum, beberapa wajib pajak. Namun, pengumuman yang dilakukan di saat-saat terakhir tetap saja menimbulkan kekacauan. Banyak perusahaan yang sudah bersiap dengan proyeksi kenaikan tarif akhirnya harus mengubah lagi perhitungan mereka. Lingkungan bisnis yang semestinya stabil malah terganggu oleh kebijakan yang kurang matang. Saya bahkan mendengar beberapa wajib pajak yang merasa kehilangan kepercayaan pada sistem karena ketidakpastian seperti ini.

Menurut pandangan saya sebagai konsultan pajak, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan dampak dari kebijakan yang diumumkan mendadak seperti ini. Jika tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan penerimaan negara, lebih baik fokus pada Pajak Penghasilan (PPh) badan usaha yang lebih tepat sasaran dibandingkan menaikkan PPN yang membebani seluruh masyarakat. Kebijakan yang adil dan terencana dengan baik akan lebih diterima oleh wajib pajak dan mendorong kepatuhan yang lebih tinggi.

Stay connect With Us :
Editor: Aswad Syam
  • Bagikan