Penulis: Dr. Muhammad Asdar/Akademisi UNIFA
HERALDSULSEL.ID– Tulisan ini terinspirasi setelah membaca analisa seorang pakar ekonomi politik Prof Vedi Hadiz dari University of Melbourne Australia, tentang menakar dinasti politik langgengkan kekuasaan dan bersirkulasi hanya di kalangan elite, dikutip Jumat (17/11/2023).
Tercengang, begitu saya membaca tulisan ini. Miris memang, ketika kejadian praktik pelanggaran etik, politik dinasti, hingga nepotisme hanya beredar (sirkulasi) di kalangan para elite.
Dalam teori politik dan sosiologi kata Elite adalah sekelompok kecil orang-orang yang berkuasa, misalnya oligarki yang menguasai kekayaan dan kekuasaan politik dalam masyarakat.
Masyarakat pun seolah sudah terbiasa dengan praktik tersebut di tingkat lokal. Misalnya, ketika kepala kampung/desa dijabat turun menurun oleh satu rumpun keluarga.
Ketika ditanya salah-nya dimana? Apakah kaum terpelajar dan kampus gagal melahirkan dan menghimpun ide politik kepada masyarakat? Atau pemerintah tidak serius memberikan edukasi politik melalui lembaga penyelenggara pemilu? Jawabannya kembali kepada kita semua.
Menurut penulis ada 3 alasan yang perlu dicermati ketika masyarakat antipati terhadap persoalan moral, KKN, dan pelanggaran etik menjadi hal yang biasa-biasa saja.
Pertama, bagi masyarakat persoalan pelanggaran etik dan politik dinasti hanya menguntungkan beberapa pihak ditingkatkan elite penguasa dan pengusaha dan tidak berbanding lurus dengan persoalan substansi yakni persoalan hidup dan kehidupan. Mereka menganggap lebih penting berdaya mencari nafkah sehari-hari untuk sesuap nasi demi keluarga tercinta. Daripada sibuk mengurusi dan memikirkan para elite yang setelah “pesta demokrasi” kembali ke fase adem ayem demi kepentingan kelompok/golongan tertentu.